Palestina dan Komitmen Kemerdekaan dari Indonesia

Jumat, 13 Oktober 2023 21:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel

Mengawali tulisan ini, penulis mengutip ungkapan bapak proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno, yaitu, "Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel".

Pernyataan tersebut sesuai dengan amanat pada Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea pertama yang berbunyi "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baru-baru ini, pertempuran antara Palestina dan Israel menjadi berita global. Hamas yang melancarkan serangan mendadak pada hari Sabtu, adalah yang terbaru dalam tujuh dekade perang dan konflik antara Israel dan Palestina yang telah menarik kekuatan luar dan mengguncang Timur Tengah secara lebih luas.

Hal ini bukan tentang 48 jam terakhir. Ini tentang lebih dari 75 tahun penjajahan dengan pelecehan, pengusiran, pemenjaraan, penyiksaan, pembunuhan, penghancuran. Ini tentang lebih dari 16 tahun penjara yang mengerikan untuk dua Juta manusia dalam tanah sempit bernama Gaza.

Melansir dari Wikipedia.org bahwa wilayah Palestina sebelum masa kolonial dan pendirian negara sekitar 2500 tahun SM, Palestina merupakan nama untuk wilayah barat daya negeri Syam, yaitu wilayah yang terletak di bagian barat Asia dan bagian pantai timur Laut Tengah. Nama klasik wilayah Palestina adalah Kan’an karena dalam sejarah tercatat bangsa yang pertama kali bermukim di Palestina adalah Bangsa Kan’an yang datang dari Jazirah Arab. Bangsa Kan’an membangun kurang lebih 200 kota dan desa di Palestina seperti Pisan, Alqolan, Aka, Haifa, Bi’ru Al Shaba (Bersyeba), dan Betlehem. Kota besar Kan’an saat itu adalah Shekeem dan diikuti wilayah yang masih bisa ditemui sekarang adalah Asdod, Acco, Gaza, Al-Majdal. Jagga, Askelan, Ariha, Jericho, dan Bisan.

Sekitar 800 SM, asal kata Palestina disebutkan berasal dari kata philsta dalam catatan Asiria selama masa Raja Assyiria (Addizari III). Palestina sendiri diambil dari nama wilayah pesisir filistin kuno. Pada abad ke-19, orang- orang Yahudi di diaspora dari benua Eropa, hal tersebut memuncak melalui gerakan nasionalisme yang disebut Zionisme. Tujuan Zionisme didorong oleh meningkatnya kebencian terhadap orang Yahudi di Eropa dan Rusia. Orang-orang Yahudi berimigrasi termasuk di wilayah yang bernama Palestina.

Selama perang dunia I tepatnya pada 2 November 1917, Pemerintah Inggris, mengumumkan dukungan bagi pembentukan sebuah "kediaman nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina yang disebut dengan Deklarasi Balfour. Saat perjanjian Balfour dilaksanakan, tercatat sebesar 56 ribu orang Yahudi menatap di Palestina, yang termasuk 8 persen dari penduduk Palestina. Inilah awal mula adanya upaya pencaplokan lahan oleh orang-orang Yahudi yang membuat orang-orang Palestina terancam terusir dari lahan yang telah mereka tempati ratusan tahun sebelumnya.

Surat Deklarasi Balfour tersebut memang singkat, hanya 67 kata, namun isinya memberikan dampak terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini.

Disamping itu, Indonesia memiliki hubungan erat dengan Palestina karena Pertama kali pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara bukan berasal dari negara-negara Barat, melainkan dari rakyat Palestina. Seperti yang disampaikan dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya M. Zein Hassan Lc, Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, buku tersebut mengungkap peran serta dukungan nyata Palestina terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ucapan selamat Mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini kepada dunia Islam, bersamaan dengan pengakuan Jepang atas kemerdekaan Indonesia.

Meskipun Syekh Muhammad Amin Al-Husaini sedang aktif melawan imperialis Inggris dan Zionis untuk mempertahankan kota suci Al Quds di Palestina, dia tetap mendukung kemerdekaan Indonesia dengan tekad yang kuat. Dia juga mendorong negara-negara Timur Tengah lainnya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia, dan usahanya berhasil meyakinkan Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, Arab Saudi, dan Afghanistan. Hasilnya, Pengakuan Mesir atas kemerdekaan Indonesia 22 Maret 1947, diikuti oleh Lebanon pada 29 Juni 1947, Suriah pada 2 Juli 1947, Arab Saudi pada 24 November 1947, dan Yaman pada Mei 1948.

Dukungan Palestina tidak hanya bersifat diplomatis, tetapi juga materi. Seorang pengusaha Palestina yang kaya raya dan sangat simpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher, dengan tulus menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia kepada Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan. Ia berkata, "Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia!" tanpa mengharapkan imbalan atau tanda bukti penerimaan.

Mengingat apa yang telah dilakukan oleh Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tidaklah berlebihan apabila Indonesia juga melakukan hal yang sama untuk Palestina. Terlebih lagi, hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana tertuang dalam Mukadimah, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Upaya Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Palestina telah dilakukan sejak masa Presiden Soekarno. Pada 1949, tidak berselang lama setelah pemerintah Belanda menandatangani penyerahan kedaulatan Indonesia, Presiden Zionis Israel, Chaim Weizmann dan Perdana Menterinya, David Ben Gurion menyampaikan “ucapan selamat” melalui pesan yang dikirimkan kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dengan harapan Indonesia juga memberikan pengakuan serupa atas “negara” yang mereka dirikan pada 14 Mei 1948.

Kemudian pada 1950, Menteri Luar Negeri Zionis Israel yaitu Moshe Sharett juga menyampaikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia melalui pesan yang dikirimkan kepada Mohammad Hatta. Akan tetapi, Soekarno dan Hatta mengambil sikap tegas dalam menanggapi ucapan tersebut. Hatta hanya membalas dengan mengucapkan terima kasih, tanpa menawarkan timbal balik dalam hal pengakuan diplomatik.

Penolakan terhadap Zionis Israel juga ditunjukkan Presiden Soekarno ketika diadakannya Konferensi Asia Afrika pada 18—24 April 1955 di Bandung, Jawa Barat. Dalam konferensi ini, Soekarno menolak kehadiran Zionis Israel karena penjajahan yang telah mereka lakukan di tanah Palestina.

Pasca-KAA, sikap penolakan terhadap penjajahan juga ditunjukkan oleh Soekarno pada ajang Piala Dunia 1957. Saat itu, Tim Nasional Indonesia berhasil mengalahkan Tiongkok dan lolos di zona Asia. Indonesia tinggal selangkah lagi untuk bisa masuk ke Piala Dunia 1958 di Swedia. Akan tetapi, untuk bisa sampai di tahap tersebut, Indonesia harus melawan tim Zionis Israel. Presiden Soekarno pun mengambil keputusan bahwa Indonesia tidak akan melanjutkan pertandingan, karena hal tersebut sama saja dengan mengakui keberadaan Zionis Israel. Indonesia pun mengundurkan diri secara terhormat dalam pertandingan besar itu.

Kemudian, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962, Presiden Soekarno kembali menunjukkan konsistensinya dalam membela Palestina dan menentang penjajahan Zionis Israel. Presiden Soekarno menolak memberikan visa kepada kontingen yang berasal dari Zionis Israel dan Taiwan, dengan alasan Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan dua negara tersebut karena tindakan mereka melakukan penjajahan dan diskriminasi terhadap bangsa lain.

Akibat keputusan Soekarno yang berani ini, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Soekarno kemudian memutuskan bahwa Indonesia keluar dari IOC pada 1963, lalu membentuk olimpiade tandingan yang diberi nama Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada tahun yang sama sebagai bukti bahwa Indonesia tidak bergantung pada kekuatan dunia yang ada. Dalam kesempatan itu, Presiden Soekarno juga menyampaikan kalimat dukungannya terhadap Palestina, “Selama kemerdekaan Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajah Israel. “

Maka sudah sepantasnya, generasi muda, warga dan pemerintah Indonesia terus berupaya memperjuangkan kemerdekaan negara Palestina. Membela Palestina dari penjajahan Israel adalah bentuk komitmen dan pelaksanaan dari amanat pembukaan UUD NRI 1945, bukan hanya alinea 1, tapi juga alinea ke 4 berbunyi "Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial".

Maka dari itu, mari kita bantu Palestina dengan dukungan moril dan materil. Karena dukungan terhadap Palestina merupakan dukungan atas dasar kemanusiaan, persaudaraan dan perdamaian. Semoga peristiwa ini menjadi momentum yang tepat untuk mengembalikan pembicaraan kepada bagaimana pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan dan kemerdekaan rakyat Palestina. Indonesia bersama Palestina

Bagikan Artikel Ini
img-content
Anwar Syafii Pulungan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Pilihan Editor

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua